RadarNkri.com I Makassar – “Banjir membuat korban jiwa
Rumah terisi penuh air kotor
Hewan-hewan hanyut tenggelam”
Begitu puisi berjudul “Akibat Banjir”, karya Salsabila, murid kelas 4B SD Negeri Borong yang dibacakan temannya, Karina. Mesti tak merasakan langsung situasi banjir, Salsa mengaku melihat orang kebanjiran lewat pemberitaan TV.
“Saat lihat orang kebanjiran di TV, saya jadi sedih. Tidak menyangka bisa seperti itu,” jelasnya ketika ditanya, bagaimana perasaannya melihat orang kebanjiran.
Anak-anak lebih konkrit memahami dampak banjir karena mereka bisa menyaksikannya melalui berbagai saluran media. Coba baca puisi karya Nur Khalifah, berikut ini:
“Banjir bisa terjadi sangat lama
Banjir itu berbahaya
Jika kita tenggelam, tak ada yang mendengar”
Puisi yang ditulis Salsabila dan Nur Khalifah merupakan bagian dari program pengembangan minat dan bakat yang dilakukan sekira setahun terakhir di SD Negeri Borong. Sekolah yang terletak di Kecamatan Manggala itu menggandeng Rusdin Tompo sebagai fasilitator untuk membagi ilmu dan pengalamannya.
Pertemuan dilakukan sekali sepekan, dengan materi-materi yang diharapkan bisa membangun kesadaran kritis anak-anak. Bukan hanya untuk meningkatkan keterampilan teknis tapi juga wawasan anak-anak. Termasuk kesadaran kritis tentang kebencanaan: penyebab, akibat dan apa yang bisa dilakukan. Semacam pengetahuan tentang mitigasi bencana secara sederhana melalui aktivitas literasi.
“Kami pertemuan setiap Sabtu. Kebetulan lagi ada bencana banjir di beberapa daerah di Sulawesi Selatan maka temanya dikaitkan dengan situasi aktual,” papar Rusdin yang dikenal sebagai aktivis sekaligus penulis itu.
Pada Sabtu (26/1/2019), anak-anak diminta menulis puisi dan menggambar bertema banjir sebagai medium menggali pemahaman mereka seputar bencana banjir. Pendekatan seni dilakukan, biar lebih mudah bagi anak-anak mengekspresikan dirinya. Melalui gambar dan puisi itu diketahui seperti apa pengetahuan anak-anak, berikut dampak dan respons mereka terhadap situasi tersebut.
Rahmawati Yusra, yang rumahnya tak jauh dari sekolah mengetahui mendengar cerita tentang banjir dari temannya yang tinggal di Gowa. Kabupaten yang berdampak langsung dengan Makassar ini memang salah satu daerah yang dilanda banjir di awal 2019 ini. Karena itu, murid kelas 4 ini menggambar rumah tenggelam berdasarkan cerita temannya itu.
Andika, murid kelas 5B, juga menggambar banjir yang memperlihatkan sebagian badan rumah terendam air. Tinggi air bahkan juga menutupi sebagian batang pohon yang ada di situ.
Rahmawati, yang tinggal di Antang, Makassar, punya pengalaman tak terlupakan terkena banjir. Pada saat hujan deras, air masuk ke rumahnya hingga setinggi pahanya. Kasurnya bahkan terendam karena terlambat diangkat. Gegara banjir ia tidak ke sekolah selama 2 hari.
“Buku-buku saya ada yang basah. Tapi sekarang sudah kering karena dijemur,” kenang Rahma tentang buku ceritanya yang terkena banjir.
Empati anak-anak terhadap mereka yang jadi korban banjir tampak pada komentar Jihan Zahra Trianita. Murid kelas 5B ini sedih setiap kali melihat video tentang kebanjiran di YouTube.
Begitupun dengan Karina. Murid perempuan yang juga duduk di kelas 5 ini mengaku tidak mau melihat video-video seperti itu secara berulang-ulang. Ketika ditanya kenapa? Jawabnya karena ia kerap dihantui ketakutan dan sedih melihat para korban.
“Dumba-dumba ka’ dan takut. Kubayangkan tsunami dan gempa. Kalau tidur kumimpikan ki,” tutur Karina dalam logat Makassar.(Bombang)